Selasa, 10 Juli 2018

Seminar Nasional Pendidikan Tinggi Desain 2018


Kamis, 05 April 2018




CRAFT DAN TRADISI AKADEMIK PENDIDIKAN DESAIN

Andry 
FSRD ITENAS
JL. PHH Mustopha no. 23 Bandung


dituliskan pada Prosiding Indesignation, ADPII, Bandung 10-11 November 2016, 1st Indonesia International Design Conference.

Abstrak
Berdasarkan literasi yang ada, dapat ditelusuri bahwa pendekatan pedagogi pada pendidikan tinggi desain berbasis pada craft. Permasalahan di Indonesia menjadi unik, ketika pemahaman tentang craft dicampur adukan dengan kerajinan atau kriya, beberapa bahkan memadukannya dengan seni (seperti seni-kriya). Sementara itu, craft pada banyak negara asalnya adalah ibu dari bidang desain. Dengan demikian, seharusnya menjadi pertanyaan, apakah kriya atau kerajinan adalah ibu dari desain di Indonesia ?.
Tulisan ini merupakan pemikiran untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu mendudukan pemahaman craft sebagai pedagogi yang lebih merupakan tradisi yang tidak mengakar pada budaya Indonesia. Dengan menelusuri literasi yang ada, diharapkan tulisan ini dapat ikut menjawab mengapa perkembangan desain dan craft di Indonesia belum mampu secara signifikan menjadi ujung tombak perekonomian dan budaya Indonesia.

1.         Penelusuran Definisi

Dilihat dari naskah kuno seperti naskah Sewaka Darma, Sanghyang Siskandang Karesian, dan Amanat Galunggung, yang ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan tidak dapat ditemukan penggunaan istilah ‘kriya’ dan ‘kerajinan’ yang hadir di Indonesia sebagai istilah yang dipadankan dengan ‘Craft’. Dalam naskah tersebut, hanya dapat ditemukan istilah yang kurang-lebih dimaksudkan sama, yaitu ‘Pandai Besi’ untuk ahli yang berhubungan dengan besi, ‘Maranggi’ untuk ahli ukir kayu, dan ‘Pangeuyeuk’ untuk ahli tekstil, tidak disebutkan satu istilah yang dapat mewakili keseluruhan bidang seperti penggunaan kata ‘kriya’ dan ‘kerajinan’ yang digunakan saat ini.
Demikian juga dengan kreasi yang dihasilkan oleh para pandai tersebut, pada dasarnya apa yang dihasilkan tidak pernah mengutamakan ‘keberbedaan’, berlakunya ‘pakem’ sebagai sesuatu yang tidak boleh dilanggar menunjukkan bahwa produk ‘kriya’ bukan dititik beratkan pada aspek formal pada konteks kebaruan. Sedangkan pada produk-produk yang tergolong kerajinan pun, penekanan yang dilakukan lebih kepada kualitas yang bersifat teknis dan produksi.
Berbeda dengan istilah kriya, istilah kerajinan pada dasarnya baru dimunculkan pada masa penjajahan, diduga merupakan pengertian langsung dari bahasa Belanda yaitu kunstnijverheid ( kunst = seni, nijverheid = industri), yang kurang-lebih diterjemahkan sebagai seni industri. Dalam tulisan mengenai pendidikan kriya, Yusuf Efendi menguraikan bahwa hingga abad 18, telah ada usaha-usaha kecil bidang kerajinan dari Indonesia yang sudah dikenal oleh masyarakat Eropa. Pada masa penjajahan Inggris, Raffles melanjutkan usaha pribumi, antara lain pandai besi, pembuat gamelan, perhiasan logam mulia, penggosokkan intan, tenun kain, anyam tikar, batik, kertas, dan produk anyaman bambu. Bahkan pada tahun 1888, pemerintah Belanda mendirikan Nederlandsch Indische Maatschappij Voor Nijverheid en Landbow. (Efendi, 1993)
J.A Van der Chys, pejabat Belanda mencatat adanya 23 jenis kerajinan pribumi, antara lain, percetakan, kerajinan batik, pandai besi, pembakaran genting dan bata, kerajinan mebel, kerajinan tenun, pertukangan kayu, pahatan batu, kerajinan anyaman, pengolahan kulit, dan kerajinan logam cor.
Ditinjau dari sejarah desain, keberadaan kriya tidak dapat disepadankan dengan keberadaan ‘Craft’ yang mengawali hadirnya bidang desain akibat perkembangan dunia industri manufaktur. ‘Craft’ akhirnya dibedakan dari ‘Design’ didasarkan pada dominasi penggunaan ketrampilan tangan serta tingkat kemassalan dari kuantitas produksi yang dihasilkan.
Dalam perkembangan selanjutnya di beberapa negara, karya ‘Craft’ lebih sering diperdebatkan sebagai sebuah karya seni atau bukan. Dalam tulisan pengantar Howard Rissati dalam buku ‘theory of Craft(2009) diuraikan adanya fenomena sekelompok kreator ‘Craft’ yang berusaha untuk mensejajarkan diri dengan bidang seni (‘art’). Fenomena ini dapat diduga muncul sebagai akibat langsung dari gerakan ‘Art and Craft movement’ pada tahun 1860 hingga 1910. (Risatti, 2009)
Ditinjau dari aturan penyaduran bahasapun, istilah ‘kriya’ tidak tepat untuk digunakan, karena seharusnya istilah yang lahir dari proses asimilasi dari ‘Craft’ akan melahirkan kata ‘Kraft’. Dari kamus sanksekerta I Made Surada (2007), kriyà tulisan kriya.jpgdidefinisikan sebagai tindakan; eksekusi; perlakuan; buruh; praktek; pengetahuan; persembahan makan; kepada leluhur; nenek moyang yang telah meninggal. (Surada, 2007)
Pengadopsian kata ‘Craft’ juga terjadi di beberapa negara lain, pada buku Japanese Modernitation and Mingei Theory (2004), Yuko Kikuchi menyampaikan bahwa istilah ‘Craft’ tidak cukup untuk digantikan oleh istilah yang selama ini digunakan, sehingga untuk keperluan tersebut, mereka menggunakan istilah Kurafuto[i]. (Kikuchi, 2004) Jepang menggunakan istilah Kurafuto untuk dipadankan dengan ‘Craft’, akan tetapi secara umum mereka sudah memiliki istilah kÖgei, dan dikenal beberapa penggunaan seperti Dento Kogei untuk Craft tradisional, Seikatsu KÖgei untuk Craft rumahan, dan SÖsaku KÖgei untuk Craft kreatif. Disamping itu dikenal juga istilah Mingei untuk seni masyarakat. Sedangkan Perancis menggunakan kata métier, atau Korea yang menggunakan kata jig-eob, dan Craft di negara Malaysia. Di beberapa negara, istilah ‘Craft’ diadopsi secara langsung, seperti Jerman dengan Handwerk dan Kunstgewerbe, Belanda memiliki istilah Ambacht, dan Zanaat dalam bahasa turki.
Dari uraian singkat mengenai ‘Craft’ tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata ‘Kriya’ dan ‘Kerajinan’ adalah tidak setara dengan penggunaan istilah ‘Craft’ atau sebaliknya, kalaupun ‘kriya’ dipahami sebagai padanan dari ‘Craft’, maka seharusnya digunakan kata ‘Kraft’, karena memiliki tujuan yang berbeda. Walaupun demikian, pada beberapa tulisan masih dapat ditemukan upaya yang kompromis terhadap kondisi ini dengan membedakan adanya kriya tradisional dan kriya modern.

2.         Sistem Pendidikan Sloyd

Dalam tradisi akademik, penekanan terhadap praktika mengacu pada konsep bekerja pada bidang craft. Pada penelusuran mengenai tradisi akademik, khususnya di negara-negara Nordic dan Eropa pada umumnya, craft sangat berperan besar dalam perkembangan tradisi tersebut.
Dilihat dari sisi historis, tradisi akademik bukan merupakan sesuatu yang terpisah dengan apa yang terjadi pada masyarakat. Tradisi akademik dunia berasal dari masa abad pertengahan yang melahirkan istilah scholastik. Dalam abad kedua belas, sekolah-sekolah katedral Perancis memakai istilah scholastici atau scholars untuk menunjuk pada para pendidik calon pastor. Sekolah atau school diambil dari kata Latin skhole, scola, scolae, yang secara harfiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’, yang menjelaskan kegiatan masyarakat Yunani untuk mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi seseorang yang dianggap pandai untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-hal yang mereka perlu ketahui. Kebisaaan tersebut  kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka. Perkembangan selanjutnya, pengisian waktu luang anak-anak dilakukan dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai, di mana anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap memang patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya. (Tjaya, 2004, p. 39)
John Amos Comenius, melalui Didactica Magna  menggagas pelembagaan pola proses pengasuhan anak-anak tersebut secara sistematis dan metodis. Gagasan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Johann Heinrich Pestalozzi, pada abad-18, dengan gagasan yang lebih terinci yang dikenal dengan nama ‘Sistem Klasikal Pestalozzi’, dan menjadi cikal-bakal pola pengajaran sekolah-sekolah modern yang sekarang dikenal dengan perjenjangan kelas dan tingkatannya.

Kecakapan atau ketrampilan seseorang pada bidang craft seharusnya juga dapat dilatih pada satu lembaga pendidikan yang terstruktur. Dari penelusuran yang dilakukan, hingga saat ini baru ditemukan satu konsep pendidikan yang memasukan unsur craft sebagai bagian dari kurikulum, yaitu sistem pendidikan Slöjd, yang merupakan satu sistem pendidikan yang termasuk pada konsep pendidikan teknologi.
Menurut John D. Mc Neil setidaknya terdapat 4 jenis konsep kurikulum, yaitu : (1) Kurikulum Humanistik, (2) Kurikulum Rekontruksi Sosial, (3) Kurikulum Teknologi, dan (4) Kurikulum Subjek Akademik. Dari keempat konsep kurikulum tersebut, craft sebagai sebuah alat pendidikan dimasukan dalam konsep kurikulum Teknologi, yaitu penerapan teknologi dalam pendidikan, yang meliputi perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Secara umum, kurikulum teknologi adalah kurikulum yang didasarkan pada teori teknologi pendidikan, dengan penekanan yang diarahkan pada penguasaan kompetensi (Abdulhak, 2009). Dilihat dari konsep kurikulum tersebut di atas, maka Slöjd dapat dimasukan pada jenis kurikulum teknologi, dengan pertimbangan bahwa Slöjd diarahkan untuk menguasai sebuah kompetensi.
Kurikulum yang berfokus pada craft dikembangkan hingga 1999, ketika craft ditetapkan kembali sebagai subjek teknologi baru, didasarkan pada  rasionalisasi bagi literasi teknologi, inovasi dan desain. Melalui Uno Cygnaeus,  pada tahun 1866 Finlandia menjadi negara pertama yang menerima Sloyd ke dalam kurikulum nasional. Sloyd diwajibkan di Finlandia hingga kelas tujuh dan kemudian menjadi pilihan hingga kelas sembilan. Sampai kelas empat, siswa biasanya belajar baik pekerjaan teknis dan tekstil dan dari kelas lima mereka biasanya dapat memilih bidang sesuai dengan minat yang ingin mereka pelajari. Pekerjaan teknis lebih lanjut dapat dibagi atas dasar material (Virta, Metsärinne, & Kallio, 2013).
Di Islandia, meskipun telah terjadi banyak perubahan kurikulum, pedagogi craft hingga hari ini masih merupakan dasar subjek dari desain dan craft negara tersebut, secara teknologi berbasis dan berfokus pada pengembangan gagasan. Slöjd diperkenalkan pada tahun 1898 oleh seorang pengajar Islandia, Jon Thorarinsson dan menjadi pelajaran wajib dari awal 1900. Pedagogi Slöjd diperkenalkan menjelang akhir abad ke 18 kepada para pendidik di Islandia, yang menetapkan craft sebagai mata pelajaran spesifik yang ditujukan bagi pendidikan umum. Namun demikian, batas-batas antara craft dan pendidikan teknologi terkadang tidak jelas, tetapi sebagian besar terletak dalam isu-isu ideologis. Craft biasanya berfokus pada individu dan didasarkan pada pembuatan artefak tradisional, tetapi dalam subjek desain dan craft difokuskan pada pemecahan masalah kebutuhan manusia nyata. Pendidikan craft bekerja lebih banyak dengan kebutuhan individu sedangkan pendidikan teknologi mengembangkan solusi untuk memecahkan kebutuhan masyarakat umum. (Thorsteinsson, Page, & Olafsson, 2009)
Konsep sloyd sering disebut berawal dari sistem tradisi  Swedia dengan sebutan Östgötalagen pada abad ke-14 (Illum & Johansson, 2012, pp. 2-16). Slöjd merupakan terjemahan bahasa Inggris dari kata Skandinavia sljd, yang berarti craft atau keterampilan manual. Sljd berasal dari pedesaan di  Skandinavia, di mana orang tua mengajarkan anak-anak mereka untuk membuat sesuatu yang berguna daripada membeli. Talenta seperti ukiran kayu, logam, dan pembuatan keranjang diturunkan kepada generasi muda untuk membantu mereka mempersiapkan masa depan mereka. Pada awalnya istilah Slöjd memiliki arti handy atau terampil, dan mengacu pada pembuatan craft. Istilah Slöjd dihubungkan dengan  kata Islandia lama 'sløg∂' dengan makna asli yang terhubung secara etimologis dengan kata bahasa Inggris kemahiran, cerdik, cerdas, dan pintar. Slöjd adalah sebuah sistem pedagogis pendidikan manual yang berusaha untuk mengembangkan anak secara umum, melalui belajar keterampilan teknis dalam pengolahan kayu atau menjahit dan merajut, dan membuat benda berguna dengan tangan. Kesadaran mengenai pedagogi Slöjd sebagai sebuah sistem dipicu oleh revolusi industri yang mempengaruhi orang secara umum, di mana pabrik-pabrik berperan menjadi jantung perekonomian sehingga kebutuhan akan tenaga kerja terampil menjadi sangat meningkat. Keadaan ini kemudian disadari oleh pemerintah Finlandia dengan menerapkan sistem sekolah umum, yang bertujuan untuk menumbuhkan tenaga kerja terampil guna membantu peningkatan lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian Finlandia. (Borg, 2006, pp. 34–51)
Brynjar Ólafsson pada review jurnal, dengan judul ‘Design and Craft Education in Iceland, Pedagogical Background and Development’menguraikan dengan lengkap sejarah pemikiran slojd sebagai pedagogi pada kurikulum nasional di negara-negara nordic. Uraian sejarah slojd tersebut diawali dari Comenius (1592-1671) pada abad ketujuh belas, yang  mengajukan gagasan kurikulum komprehensif dengan melibatkan seni manual dan liberal, menggaris-bawahi pentingnya mengajar craft di sekolah umum untuk memungkinkan individu mengidentifikasi minat dan memahami apa yang diperlukan dari kehidupannya. Hal ini juga diperkuat oleh Locke (1632-1704) yang mengatakan bahwa craft adalah sehat untuk pikiran dan penting untuk memberikan gerakan fisik pada tubuh, Locke menggambarkan woodwork sebagai bekal yang sehat dan baik untuk studi teoritis.
Selanjutnya, Rousseau (1712-1778) menggabungkan karya Comenius dan Locke dalam 'Emile' (1764/1979), dan berusaha untuk menggambarkan suatu sistem pendidikan yang akan memungkinkan 'manusia alami' untuk bertahan hidup dalam sebuah masyarakat, menyadari nilai pembelajaran melalui pemecahan masalah dalam sebuah magang bukan belajar dengan menghafal didalam kelas, selain itu juga menjelaskan rahasia pedagogi sebagai tubuh dan jiwa yang selaras ketika mereka saling menyuburkan satu sama lain.
Pada awal abad ke-18 sarjana Jerman, August Hermann Francke (1663-1727) memulai pendidikan craft di Halle, menugaskan para siswanya untuk membuat benda-benda untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti kotak kayu dan alat-alat untuk rumah dan sekolah. Berbeda dengan Locke, pendekatan Francke lebih dekat dengan apa yang disebut industri rumahan daripada pendekatan craft sebagai pedagogi. Comenius dan Francke dianggap berpengaruh besar pada Johann Basedow seorang ahli pendidik Jerman (1723-1790) yang mengajukan model pedagogis dengan menekankan handycraft bagi semua siswa.
Johann Heinrich Pestalozzi (1746 – 1827) mengembangkan sistem pedagogi yang didasarkan dari filsafat Rousseau. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Friedrich Wilhelm August Froebel (1782-1852) yang mengembangkan gagasan bahwa anak-anak pada dasarnya kreatif dan mengekspresikan dirinya melalui tindakan, pekerjaan tangan terletak di pusat semua pembelajaran.

sejarah sloyd.jpg
Bagan II.16 Ringkasan perkembangan craft dalam pendidikan pada penggunaan sistem sloyd.
Gagasan Heinrich Pestalozzi dan Froebel kemudian dikembangkan oleh Uno Cygneaus (1810-1888) dengan memperkenalkan craft sebagai sistem pedagogis. Tahun 1863 Cygnaeus memulai sekolah pelatihan guru dengan mendasarkan handycraft pada kurikulum, dan untuk menekankan hal tersebut craft menjadi bagian dari kurikulum umum. Cygnaeus menarik perbedaan tajam antara handycraft sebagai bagian dari kurikulum umum dan handycraft sebagai bagian dari pendidikan teknis atau pendidikan spesialis, dan menegaskan bahwa ketrampilan tangan harus diajarkan oleh guru biasa, bukan oleh pelaku craft. Dengan penerapan sistemnya pada pendidikan universal bagi semua warga negara, Finlandia menjadi negara pertama yang membuat pekerjaan tangan menjadi bagian integral dari skema nasional pendidikan dasar. (Ólafsson, 2009)
Otto Salomon, seorang ahli pendidikan  Swedia (1849-1907) mengembangkan ide-ide Cygnaeus untuk secara pedagogis berdasarkan pendidikan craft lebih jauh dengan menggunakan istilah Slöjd. Salomon mengadaptasi banyak ide dari Rousseau, Pestalozzi, Fröbel dan pendidik lainnya, yang kemudian berkembang menjadi teori kolektif dan sistem untuk handycraft mengajar di sekolah dasar. Namun, berlawanan dengan pandangan Cygnaeus, Salomon berpendapat bahwa seharusnya tidak ada pemisahan antara handycraft sebagai bagian dari kurikulum umum dan handycraft sebagai bagian dari pendidikan teknis atau khusus. Sistem Salomon untuk pendidikan Slöjd lebih terstruktur daripada Cygnaeus, menekankan pentingnya pengajaran pengetahuan dasar dan keterampilan di awal untuk mengaktifkan tahap yang lebih maju dalam pengembangan individu sebagai warga negara yang baik. Salomon berfokus pada analisis proses dan penggunaannya dalam pengajaran pendidikan. Ada tiga elemen kunci dalam sistemnya, ‘(1) membuat objek yang berguna, (2) analisis proses, dan (3) metode. Salomon mendirikan sekolah internasional Slöjd di Naas di selatan Swedia, kemudian menjadi pusat pelatihan dunia bagi para guru Slöjd pada tahun 1875. Pada 1904 ia menerbitkan ' The Teacher’s Hand-Book of Slöjd', yang dirancang untuk membantu para guru dalam menerapkan pendidikan Slöjd, yang berisi semua informasi yang diperlukan untuk pelaksanaan dan penjelasan Slöjd (Thorbjörnsson, 2000, pp. 471–485).
Aksel Mikkelsen (1849-1929) menyelenggarakan Slöjd sebagai subyek umum di sekolah-sekolah Denmark setelah mengikuti program di Naas dengan Salomon. Selanjutnya Mikkelsen menyelenggarakan Sekolah handycraft-nya pada tahun 1883 di Kopenhagen, dan mulai mendidik guru sekolah untuk mengajar Slöjd di Denmark pada tahun1885. Mikkelsen membentuk model Slöjd nya sendiri, yang dikenal sebagai Sekolah Slöjd Denmark. Tidak seperti Salomon, sistem Mikkelsen tidak difokuskan pada individu, tetapi dibangun berdasarkan instruksi kelas. Mikkelsen mengembangkan workbenches kecil dan alat untuk anak-anak. Dalam Slöjd Denmark gergaji digunakan sebagai alat utama dan semua kelas mulai dengan model dibuat dengan gergaji tanpa menggunakan mesin, mereka dilarang menggunakan kertas dan amplas karena dapat menyembunyikan kesalahan.
Sekitar tahun 1890 beberapa pendidik Islandia mencoba memperkenalkan Slöjd kedalam sistem pendidikan sebagai bagian dari pendidikan umum yang dipengaruhi oleh Mikkelsen di Kopenhagen dan Salomon di Naas, namun sampai tahun 1936 craft tidak disebut dalam perundangan sekolah umum. Akan tetapi sejak tahun 1891, craft diajarkan di beberapa sekolah-sekolah Islandia. Pada tahun tersebut Thorarinsson (1891) memperkenalkan Slöjd bagi para pendidik Islandia, menamai Slöjd ‘industri sekolah', mendefinisikannya sebagai 'pendidikan umum untuk kehidupan' untuk membedakannya dari pengajaran handycraft untuk tujuan komersial. Thorarinsson mencoba untuk meyakinkan pemerintah Islandia tentang pentingnya memulai pendidikan handycraft sebagai bagian dari pendidikan umum. Dalam artikelnya tentang Slöjd atau ‘sekolah Industri’, diterbitkan pada tahun 1891, Thorarinsson menjelaskan nilai pedagogis nya:’ ... tujuan industri sekolah adalah membantu perkembangan mental dan fisik orang muda, untuk benar-benar mendidik mereka ... (Ólafsson, 2009).
Thorarinsson (1891) menggunakan istilah 'sekolah industri' untuk membedakan pedagogis craft dari 'industri rumahan' dan untuk menggaris-bawahi nilai-nilai craft bagi pendidikan umum. Tujuan dari ‘sekolah Industri’ adalah menggunakan handycraft sebagai alat pendidikan dalam mengedukasi siswa menjadi baik dan masyarakat yang berkembang sempurna. Tujuan dari 'industri rumahan' di sisi lain adalah untuk mendidik mahasiswa menjadi mandiri dan dapat hidup dari handycraft. Seperti Mikkelsen dan Salomon, Thorarinsson menggarisbawahi pentingnya mendidik Slöjd kepada para guru, tukang kayu tidak harus mengajar ‘sekolah Industri’ karena mereka tidak mungkin untuk memahami nilai pedagogis craft untuk pendidikan umum.
Pada tahun 1902, Finnbogason seorang pendidik Islandia, meneliti pendidikan di Skandinavia untuk menemukan cara yang lebih baik dalam mengorganisir pendidikan umum di Islandia. Eksplorasi pendidikan Finnbogason di Eropa dan sarannya mengenai pendidikan umum adalah dasar dari undang-undang pertama untuk pendidikan umum di Islandia yang ditetapkan pada 1907.
Pada tahun 1948, craft pertama kali ditetapkan sebagai mata pelajaran, dan kurikulum integral nasional pertama untuk wajib belajar diterbitkan pada tahun 1960. Tujuan setiap mata pelajaran sekolah didefinisikan serta pengaruh dari Slöjd dapat dilihat dalam tujuan untuk mata pelajaran craft. Wajib belajar dimodernisasi, dan maksud dan tujuannya telah diulas. Di dalam perundangan peran pendidikan umum yang ditetapkan lebih lanjut dengan cara yang demokratis, lebih menekankan pada kreativitas dan keseimbangan antara studi teoritis dan vokasional’ (minimum , dan maksimum ½). Didasarkan pada perundangan tersebut, pada tahun 1976-1977 diterbitkan kurikulum nasional yang baru. Dalam 'kurikulum' tersebut, seni dan handycraft telah ditetapkan sebagai kawasan baru bagi pendidikan craft, termasuk seni dan tekstil, kurikulum ini sedikit direvisi pada tahun 1989.
Pendidikan subjek craft Islandia dibentuk kembali sebagai subjek teknologi baru pada tahun 1999, di bawah nama desain dan craft. Subyek baru ini didasarkan pada pemikiran untuk teknologi, inovasi keaksaraan dan desain. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan literasi teknologi pada siswa dan keterampilan dalam menggagas. Infrastruktur dari desain dan craft dipengaruhi oleh kurikulum nasional di Selandia Baru, Kanada dan Inggris dan model Islandia baru untuk Pendidikan Inovasi. Model ini muncul dari subyek craft dan difokuskan pada pengembangan gagasan. Setelah beberapa tahun pengembangan kurikulum menjadi subjek lintas kurikuler independen yang dinamai Inovasi dan Penggunaan Praktis Pengetahuan (Ólafsson, 2009).
Proyek pengembangan kurikulum telah difokuskan pada pengembangan gagasan siswa termasuk mencari kebutuhan dan permasalahan di lingkungannya dan menemukan solusi yang tepat. Dalam subjek desain dan craft yang baru, pengaruh dari proyek inovasi terlihat pada kesempatan pangambilan keputusan siswa yang mengambil sumber gagasan dari pemecahan masalah dan desain dari kehidupan nyata. Kegiatan ini didasarkan pada pembuatan artefak dari material resisten dan sistem desain berdasarkan rangkaian listrik / elektronik, mekanisme, dan struktur pneumatik. Latar-belakang subjek dari Desain dan Craft dalam kurikulum 1999 ditekankan  pada craft berbasis teknologi yang berfokus pada desain, dan inovasi. Upaya tersebut diperluas dari kurikulum sebelumnya dengan aspek-aspek tradisional dari pendidikan teknologi. Hal ini juga direkomendasikan untuk mendukung proses generisasi gagasan siswa dan pembuatan artefak dengan pengetahuan yang relevan, misalnya mengenai desain yang berkelanjutan, sejarah industri dan kesehatan dan keselamatan. (Gisli Thorsteinsson, 2009, pp. 369-378)

3.         Craft pada Sekolah Bauhaus

Craft dikenal sebagai salah satu metoda pengajaran di pendidikan tinggi yang diawali di Bauhaus, Jerman, didirikan di Weimar oleh Walter Gropius (1883-1969) dari tahun 1919 hingga 1933 dan mengenalkan perpaduan antara seni dan craft. Melalui sekolah ini, dengan pendekatan modernis bagi pendidikan seni, memisahkan apa yang disebut dengan seni yang murni dan seni yang terapan, serta mendefinisikan ulang hubungan antara desain dan teknik industri manufaktur. Melalui lembaga inilah, pendekatan eksplorasi material mulai dikenalkan sejak siswa menduduki tingkat pertama perkuliahan.
Setelah Johannes Itten, Walter Gropius menugaskan Josef Albers dan seniman Hongaria Lazlo Moholy-Nagy untuk mengajar pendidikan tingkat pertama bersama-sama. Albers mengajarkan studi material selama semester pertama, dan menugaskan siswanya menggunakan alat-alat sederhana untuk mengeksplorasi sifat berbagai bahan seperti metal, kayu, kaca, plastik, karton gelombang, timah, kertas, hingga korek api. Albers mengajak para siswanya untuk mengobservasi sifat bahan, mengeksploitasi kemungkinan struktural dan keterbatasan dari material itu sendiri, melihat kemungkinan yang ditawarkan oleh material tersebut, dan lebih lanjut mendorong siswa untuk belajar berdasarkan pengalaman melalui eksplorasi mereka sendiri dan praktek, dan menekankan pada pengenalan yang intensif terhadap material melalui tangan langsung.
Menurut filsafat pendidikan Bauhaus, adalah sangat penting bagi seorang seniman untuk mengeksplorasi kualitas material/bahan dan bereksperimen dengan berbagai bentuk yang sesuai dengan tuntutan produksi massal. Penekanan pendidikan Bauhaus pada eksperimen, adalah sebuah pendekatan yang sesuai dengan John Dewey, yaitu penekanan pada aktivitas kreatif untuk anak-anak dan metode eksperimen dalam belajar. Pada pertengahan 1940-an, eksperimentasi material telah hampir menjadi sebuah doktrin dalam pendidikan seni, dan banyak pengajar di bidang seni melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni kreatif melalui pendekatan tersebut.
Setiap siswa di Bauhaus ditugaskan untuk belajar craft, menurut pedagoginya, craft adalah pilar utama dari pedagogi perguruan tinggi desain dan seni, menggambar dan lukisan ini pilar yang kedua, dan ilmu pengetahuan dan teori membentuk tiang terakhir pedagogi Bauhaus[ii].
Secara historis seni diajarkan di Eropa melalui cara magang, yaitu cara seseorang mendapatkan ketrampilan melalui bekerja pada studio para seniman. Sekolah seni sendiri pada beberapa catatan umumnya menyatakan telah berlangsung sejak jaman Plato di abad 400 sebelum masehi. Akan tetapi, pendidikan desain atau seni sebagai pendidikan formal, pada umumnya menyatakan diawali pada paruh awal abad 19, yaitu  dengan berdirinya lembaga pendidikan Bauhaus oleh Walter Gropius di Weimar, Jerman. Sehingga dapat disebutkan bahwa pendidikan awal disiplin desain secara formal diawali oleh lembaga Bauhaus tersebut.
Bauhaus berdiri pada bulan april 1919 oleh Walter Gropius sebagai sekolah Seni, Craft dan Arsitektur. Gropious berpendapat bahwa seni lukis sangat berpengaruh pada pergerakan Seni, sehingga ia mengumpulkan sejumlah pelukis untuk datang dan mengajar di lembaga pendidikan tersebut. Dengan menarik para seniman tersebut, Gropius menekankan pengajaran pada aktifitas studio, menurutnya pengajaran melalui pendekatan lansung, praktika di studio dibawah pengarahan dosen, akan memiliki nilai keberhasilan untuk semua cabang seni dan menyediakan dasar yang paling baik untuk siswa Desain, Seni dan Arsitektur. Pelukis-pelukis yang dipilih memiliki ketertarikan pada analisis dari struktur karya seni dan dalam karya sendiri sudah berupaya mencari hukum-hukum yang mempengaruhi kesan bentuk dan warna, mereka menentang pendekatan akademi yang umumnya berlaku saat itu di sekolah-sekolah Seni.
Mengacu pada konsep Walter Gropius, para staf pengajar Bauhaus menganjurkan para siswanya untuk melakukan percobaan dengan bahasa visual seni plastis. Gropius berharap melalui pendekatan ini dapat dihasilkan siswa-siswa yang tidak hanya memiliki kemampuan untuk memberikan bentuk atau jiwa pada karyanya , tetapi juga meraih kecakapan teknis yang diperlukan untuk memutuskan gagasan-gagasan mereka, dan dengan demikian meniadakan pemisahan kelas antara seniman dan pelaku craft. Pelukis-pelukis yang dikumpulkan oleh Walter Gropius di Bauhaus, memiliki pandangan mengenai perlunya merehabilitasi craft dan seni yang tidak dikenal sebelumnya.
Dengan berdirinya sekolah ini maka terungkap suatu teori Desain yang dapat dipelajari. Bauhaus sering diidentikan dengan Fungsionalism, merunut pada idiom ‘Form ever Follows Function’. Obyek fungsional sebagai obyek yang berguna untuk maksud yang jelas dan langsung. Efesiensi sebagai tujuan desain tidak akan mengundang kompromi demi penampilan. Konsep Bauhaus tersebut dikenal sebagai Sachlichkeit, ‘Hakekat sebuah benda ditentukan oleh benda itu sendiri’ (Walter Gropius).
Gagasan Desain sebelum tahun 1919, yaitu sebelum didirikan Bauhaus telah mengalami proses yang cukup panjang, namun belum banyak mempengaruhi dunia Desain secara luas, khususnya yang berkenaan dengan pendidikan Desain dunia. Program-program Bauhaus merefleksikan bagaimana sikapnya terhadap Seni, Arsitektur dan Craft yang dibentuk dalam menghadapi kekuatan enjinering dan teknologi.
Revolusi Industri sendiri seolah-olah telah mengubah fungsi-fungsi tradisi dari seniman dan pengrajin pada masa itu dengan kehadiran mesin dan material yang baru. Hal yang paling mempengaruhi diterimanya keberadaan produk-produk hasil industri adalah murahnya harga produksi itu sendiri dan kecepatan dalam menghasilkan barang-barang dalam jumlah besar dibandingkan dengan pengerjaan manual.
Perlawanan terhadap pekerjaan mesin yang patut dicatat pada abad 19 di Inggris dilakukan oleh William Morris dan John Ruskin. Keduanya yakin bahwa dampak dari industrialisasi akan merusak craft dan kesukaan khas pelanggan, hasil mesin dianggap tidak memiliki jiwa dan hal tersebut diyakini akan membuat manusia menjadi kering. Pada tahun 1861, William Morris mendirikan firma yang memberikan pekerjaan pada para pengrajin tradisional. Namun gagasan Morris sendiri dianggap tidak tepat, karena pada akhirnya apa yang dihasilkannya menjadi jauh lebih mahal ketimbang produk massal.
Individu lain yang melakukan kritik terhadap akibat industrialisasi adalah Gottfried Semper ( 1803 – 1879 ), seorang arsitek Jerman yang  tinggal beberapa tahun di Inggris sebagai pengungsi politik. Berbeda dengan Morris yang melawan industrialisasi secara frontal, Gottfried Semper menyadari bahwa industrialisasi tidak dapat ditarik kembali, sehingga ia menawarkan mengikutsertakan pengrajin dan dalam pendidikan dengan mencoba mendorong siswanya untuk mengerti dan mengeksploitasi potensi mesin-mesin bagi pekerjaan mereka.
Di Inggris kata ‘Art and Crafts’ telah diciptakan untuk menggambarkan hasil dari beragam usaha guna  membangun craftmanship dan reformasi Desain. Gottfried Semper menemukan analogi craft di Jerman yang dikenal dengan sebutan Kunstgewerbe. Henry Cole (1808 – 1882 ) adalah seorang Inggris yang bersimpati terhadap apa yang dilakukan oleh Gottfried Semper. Dikarenakan jabatannya sebagai direktur musium craft ( South Kensington Museum ) dan sekolah Desain (yang kini dikenal dengan Royal College of Art ) pemikirannya mempengaruhi tidak saja negara Inggris tetapi lebih jauh lagi ke semua daratan Eropa terutama Jerman dan Austria.
Akan tetapi semua usaha perubahan yang dilakukan di pengajaran seni tersebut tampaknya belum tuntas. Pada akhirnya sekolah tersebut hanya menciptakan artisan, bukan seniman, hal ini dikarenakan hampir keseluruhan staf pengajar memberikan pendidikan dengan instruksi yang didasari pada pandangan seniman-seniman senior dan gagasan yang melatar-belakangi artefak-artefak jaman Antique, mereka memperoleh hasil yang spektakuler seperti gerakan Avant-Garde, khususnya di Perancis, pada seni lukis. Jelasnya reformasi di pendidikan seni haruslah dimulai dengan perlawanan terhadap stagnasi kaum elit akademis. Krisis ini juga terlihat pada disiplin Arsitektur. Masalah merancang tidak dapat diselesaikan oleh arsitek yang hanya dilatih untuk meniru gaya-gaya lama atau membangun hunian dengan melulu menggunakan material yang tradisional saja.
Selama dua dekade abad 19, Inggris menjadi kebanggaan Eropa untuk kualitas produk-produk industri, craft, seni dan juga sekolah seninya. Kebanggaan tersebut adalah bagian yang diinspirasikan oleh hasrat untuk menempatkan Inggris sebagai negara industri dan niaga yang besar ( industrial and mercantile power ).
Pada tahun 1898, asosiasi seniman avant-garde yang diberi nama Vienna Secession didirikan untuk melepaskan diri dari belengu Historisism. Asosiasi ini terutama dipengaruhi oleh gerakan ‘Art and Crafts Movement’ Inggris, khususnya pekerjaan Rennie Macintosh dengan contoh karya kursinya. Pada tahun 1903, anggota Secession mendirikan Wiener Werkstätte yang segera diidentifikasikan dengan gaya yang relatif sederhana dan geometris.
Pada saat yang kurang lebih bersamaan Adolf Loos ( 1870 – 1933 ) memulai membangun gedung yang terlihat sama sekali tanpa ornamen. Ketiadaan ornamen ini menjadi ciri utama dari desain-desain abad 19, yang menjadi ideologi dan pembenaran estetik. Bagi Loos, ornamen hanya menghamburkan biaya saja, pendapatnya mengenai hubungan antara ornamen dan kecenderungan seniman tertuang pada essaynya ‘Ornament and Crime’ ( 1908 ).
Kajian teori terhadap bentuk yang lahir di sekolah Bauhaus dipengaruhi oleh beberapa perkembangan keseni-rupaan dan Arsitektur sebagai dampak kebutuhan dalam negri Jerman sendiri akibat perang, serta Konstruktivisme Rusia, Kubisme Perancis, De Stijl Belanda dan Fungsionalisme-rasionalisme, Ekspressionisme.
Melalui Bauhaus, Walter Gropius berhasil mengawinkan seni dan Industri dan mengangkat profesi seniman menjadi lebih tinggi derajatnya dari sekedar profesi dekorator. Lebih jauh lagi Gropius membedakan antara pengertian ‘bentuk teknis’ dengan ‘bentuk Seni’, namun keduanya harus bertemu sebagai satu keutuhan. Selanjutnya teori-teori Gropius pada mazhab Bauhaus dikembangkan oleh pengikutnya, dan mencapai puncaknya ketika Mies Van der Rohe menjadi pimpinan dari sekolah tersebut. Mies yang menganut faham ‘less is more’ dan kesederhanaan bentuk dianggap mewakili satu sikap yang menyatukan seni dan teknik, memberikan inspirasi pada gerakan Arsitektur modern selain di Jerman, juga di negara seperti Skandinavia, yaitu Swedia dan Norwegia. (Santosa, 1994)
Beberapa teori bentuk yang lahir dari sekolah ini dihasilkan oleh tokoh tokoh pada pendidikan dasar,  antara lain, Johannes Itten, Laszlo Moholy Nagy dan Josef Albers serta Paul Klee dan Wassili Kandinsky. Pada teks kontemporer yang dipublikasikan pada saat pameran  karya siswa Bauhaus (april – mei 1922), menawarkan dengan tepat deskripsi dari tujuan pendidikan dasar : ‘membebaskan daya kreatif siswa untuk membantu mereka mengerti material-material yang ditemukan di alam dan mendidik mereka mengerti prinsip-prinsip dasar kreatifitas visual’. (Noblet, 1993)

4.         Kesimpulan

Di negara-negara nordik, Slojd yang dapat dipahami sebagai kegiatan kriya merupakan budaya masyarakat yang mendapatkan perhatian dari kalangan akademisi sejak awal abad 16. Penggalian terhadap hal ini secara sistematis tidak dilakukan dalam waktu yang sebentar. Budaya  yang ada pada masyarakat setempat menjadi inspirasi bagi dunia akademik, sehingga tidak menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat itu sendiri.
Penelusuran, penggalian, hingga tahap imlementasinya pada kebijakan nasional dilakukan secara holistik, tidak terkotak-kotak, sehingga craft dapat dihargai setara dengan bidang-bidang lain.
Di Jerman, hadirnya Bauhaus yang menggunakan craft sebagai sistem pedagogis, dilakukan karena adanya dorongan kepentingan ekonomi yang bersifat nasional, sehingga dukungan terhadap konsep akademis sangat berkait dengan kehidupan nyata, terdapat kebutuhan real yang harus segera dipenuhi.
Kedua hal diatas menunjukkan keadaan yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia, ketika istilah kriya digunakan sebagai padanan craft bahkan dicampur-adukan dengan istilah kerajinan maka terjadi beberapa peletakan konsep pada tempat yang tidak semestinya.
Pertama, pada bidang usaha, khususnya kerajinan, harapan terhadap adanya nilai kebaruan menjadi sesuatu yang sulit untuk ditemukan, craft menitik beratkan permasalahan pada kreasi, sedangkan kerajinan ditekankan pada aspek produksi, adalah hal yang sulit untuk meminta seseorang melakukan kreasi ketika tuntutan yang dihadapinya adalah masalah efesiensi dan efektifitas. Dengan demikian, hal ini memunculkan pertanyaan baru, apakah program pemberdayaan desain sudah tepat ditujukan bagi masyarakat pengrajin?. Ketika banyak kegiatan pembinaan desain pada masyarakat pengrajin di Indonesia, dan kemudian tidak pernah dapat diperoleh hasil yang diharapkan, kemungkinan besar adalah kegiatan tersebut memang tidak tepat sasaran.
Apa yang terjadi pada dunia akademik tidak searah dengan apa yang ada dalam masyarakat. Disamping itu, kehadiran pendidikan tinggi seni-rupa dan desain yang masih relatif muda menyebabkan kontribusi lulusan akademikpun belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan.
Craft yang ada pada masyarakat adalah kegiatan sosial yang diwariskan secara tradisi dengan nilai-nilai yang sudah lama melekat pada masyarakat sebagai norma atau konvensi, sementara craft yang ada pada pendidikan tinggi merupakan serapan dari budaya luar yang dijalankan secara parsial.

5.         Referensi

         1.         Abdulhak, I. (2009). Humanistic Curriculum by John D. Mc Neil. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Retrieved 05 01, 2012, from Fadlibae Weblog's: https://fadlibae.wordpress.com/ 2010/03/24/review-mata-kuliah-pengembangan-kurikulum/?blogsub=confirming#blog_subscription-3
          2.         Borg, K. (2006). What is sloyd?, A question of legitimacy and identity. Tidskrift för lärarutbildning och forskning, 34–51.
          3.         Efendi, Y. (1993, April 29). Pendidikan Desain Kria di Lingkungan Perguruan Tinggi. Saresehan Desain Kria. Jakarta Design Center.
          4.         Gisli Thorsteinsson, T. P. (2009). Moving from Craft to Technology Education in Icelandic Schools. STUDIES IN INFORMATICS AND CONTROL, 369-378.
          5.         Illum, B., & Johansson, M. (2012). Transforming physical materials into artefacts – learning in the school’s practice of Sloyd. Techne series, Research in Sloyd Education and Craft Science, 2-16.
          6.         Kikuchi, Y. (2004). Japanese Modernisation and Mingei Theory: Cultural Nationalism and Oriental Orientalism. London and New York: Routledge.
          7.         Noblet, J. d. (1993). Industrial Design Reflection of a Century. Paris: ADAGP.
          8.         Ólafsson, B. (2009). Design and Craft Education in Iceland, Pedagogical Background and Development. . A literature review Journal of Design & Technology Education Vol 14, No 2.
          9.         Risatti, H. (2009). A Theory of Craft: Function and Aesthetic Expression. Univ of North Carolina Press.
        10.        Santosa, I. (1994). Telaah Kritis Konsep Ruang Arsitektur Interior Bauhaus . Bandung: Tesis (draft) Program Studi Seni Rupa dan Desain, Fakultas Pasca Sarjana ITB.
        11.        Surada, I. M. (2007). Kamus Sanskerta-Indonesia. Widya Dharma.
        12.        Thorbjörnsson, H. (2000). Prospects:the quarterly review of comparative education. UNESCO: International Bureau of Education, vol. XXIV, no. 3/4, 471–485.
        13.        Thorsteinsson, G., Page, T., & Olafsson, B. (2009). Moving from Craft to Technology Education in Icelandic Schools. Studies in Informatics and Control, ISSN 1220-1766, vol. 18, 369-378.
        14.        Tjaya, T. H. (2004). Humanisme dan Skolastisisme, Sebuah Debat. Yogjakarta: Kanisius.
        15.        Virta, K., Metsärinne, M., & Kallio, M. (2013). Supporting Craft Sense in Early Education. Techne Series: Research in Sloyd Education and Craft Science A, Vol 2, no 3, 50–61.




[i]. The Japanese Craft world was also strongly influenced by these new design movements  saw the invention of a new type of Crafts called kurafuto. Kurafuto is the transcription of English world ‘Craft’, but kogei is the Japanese term which has been used for the translation of ‘Craft’ in general. While kogei has been in use frome the late nineteenth century, kurafuto is a newly invented term dating from the mid 1950. Kurafuto is a difficult term to define clearly, because of its complex crossover between the territories of ‘art’,  ‘Craft’ and ‘design’ based on the modern Western concepts, but also because of minutely divided fields within the vast category of ‘Craft’ which had developed over many centuries in Japan. Kikuchi, Yūko. Japanese modernisation and Mingei Theory: cultural nationalism and oriental orientalism, Routledge, 2004. hal 218
[ii] Kievning, Brian. THE BAUHAUS MOVEMENT, GERMANY: 1919 to 1933. http://bckievning.iweb.bsu.edu.

Minggu, 04 Mei 2014

dari yang umumpun ternyata bisa ...
karya Azka Lulu, Desain Produk ITENAS, Bandung
karya Dante Febian, Desain Produk ITENAS, Bandung
karya Januard, Desain Produk ITENAS, Bandung
karya Madya, Desain Produk ITENAS, Bandung
karya Azka Lulu, Desain Produk ITENAS, Bandung




Minggu, 12 Januari 2014

one more time.....at biennale design and craft Indonesia 2013



at Indonesia Biennale Craft and Design

bersama Deden Siswanto Lighting Manekin Bonggol Jagung
With Deden Siswanto
Ligthing Manekin Bonggol Jagung
A New Craft from Indonesia
at Workshop
Mr Dani
Me...at workshop
The Craftsman...Mr Nana and Mr, Tatang
me and mr tatang who create the maneqin
with Mr Nana

Bee Nest

Bee Nest

Butterfly

Butterfly